Media Amerika: China dan Natuna, Alasan Indonesia Beli Osprey V-22 AS

0
426

Kabarterkini.co.id, Jakarta – Media Amerika Serikat (AS), Forbes, menyebut China dan masalah perairan Natuna menjadi alasan Indonesia membeli delapan unit helikopter angkut Osprey V-22 Amerika. Departemen Luar Negeri AS pada hari Senin menyetujui pengajuan Indonesia membeli delapan unit helikopter angkut Osprey V-22 dari Bell-Boeing dengan biaya sekitar USD2 miliar. Harga itu termasuk suku cadang.

Menurut laporan, dilansir dari sind8news.com, Kamis 9 Juli 2020, Indonesia sebenarnya tidak menginginkan Osprey twin-rotor yang terbang cepat tersebut dan mungkin tidak pernah berniat menandatangani kesepakatan pembelian. Tetapi tidak sulit melihat bagaimana angkatan bersenjata Indonesia dapat memperoleh manfaat dari akuisisi itu.

“Semua bermuara pada satu kata: Natuna. Ini adalah kelompok pulau Indonesia di Laut China Selatan. Salah satu yang ingin dianeksasi para pemimpin China. Natuna, sumber ketegangan sedang berlangsung di kawasan itu,” kata kelompok think tank RAND yang berbasis di California.

Kepulauan Natuna, kelompok 272 pulau kecil. Yang pusatnya terletak 730 mil utara Jakarta. Kurang dari 100.000 orang tinggal di pulau-pulau itu. Hampir semua bekerja untuk pemerintah atau sebagai nelayan kecil.

Natuna merupakan perairan kaya gas alam dan, tentu saja, perikanan. Sebab itu, China iri dengan pulau-pulau Indonesia ini. Tidak ada pihak secara serius membantah, Natuna adalah milik Indonesia.

Namun Beijing selama ini menegaskan klaimnya atas “nine-dash line”. Level terjauh dari klaim tidak resmi China di Laut China Selatan meluas jauh ke zona ekonomi eksklusif 200 mil di sekitar Kepulauan Natuna.

Itu sebabnya kapal-kapal penangkap ikan China, dikawal kapal penjaga pantai paramiliter, sering berlayar ke perairan di sekitar Natuna dan menggunakan jaring paling bawah menangkap setiap makhluk hidup dari petak samudra luas.

Aksi penangkapan ikan telah menjadi krisis geopolitik. Pada Januari lalu, sebuah armada penangkap ikan China menghindar dari Natuna, setelah Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi kelompok pulau. Tapi armada China kembali pada bulan berikutnya.

“Sedikit demi sedikit, saya pikir China akan mengambil laut Indonesia, laut Filipina, laut Vietnam,” kata Wandarman, seorang nelayan di Natuna, kepada The New York Times. “Mereka lapar; minyak, gas alam, dan banyak sekali ikan.”

Indonesia terkadang menanggapi serbuan China dengan mengerahkan pesawat patroli, jet tempur, dan kapal TNI Angkatan Laut ke Laut China Selatan. Tapi ada masalah. Pangkalan Indonesia di wilayah ini sedikit, kecil dan kurang berkembang.

Ada bandara di Ranai, ibu kota Natuna. Fasilitas itu dengan landasan pacu 8.400 kaki secara teori dapat mengakomodasi jet tempur F-16 dan Su-30 milik TNI Angkatan Udara Indonesia. Di masa lalu telah dikerahkan di sekitar pinggiran Laut China Selatan.

Ada lapangan terbang lebih kecil di Matak, Kepulauan Anambas, sebelah barat Ranai, yang panjangnya 3.900 kaki. Mungkin terlalu kecil untuk jet cepat. Ada pangkalan TNI Angkatan Laut di Tanjung Pinang, 300 mil barat daya Ranai, yang dapat mendukung kapal TNI Angkatan Laut hingga 100 kaki panjangnya.

Itu cukup banyak untuk infrastruktur militer utama. Sebagian besar pelabuhan laut dan pangkalan udara terbesar di Indonesia berjarak ratusan mil dari Natuna. Berarti, setiap kekuatan signifikan dikerahkan ke Kepulauan Natuna harus berfungsi sebagai basisnya sendiri sambil mempertahankan jalur komunikasi jarak jauh.

Kapal amfibi, titik awal yang jelas. Bukan tanpa alasan Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, telah mengalokasikan miliaran dolar membangun armada amfibi, termasuk lima kapal designed landing docks (LPD) Korea Selatan.

Setiap LPD kelas Makassar panjangnya 360 kaki, bobot 11.000 ton saat terisi penuh dan dapat mengangkut lebih dari 200 marinir atau pasukan tambahan sekitar 40 kendaraan dan tank Leopard II. Sebanyak 20 dua kapal pendarat, tank, tiga kapal tanker pantai, dua pengangkut pasukan, kapal bahan bakar dan sebuah kapal rumah sakit mendukung LPD.

Dua kapal kelas Banjarmasin, varian Makassar adalah hal terdekat yang dimiliki TNI Angkatan Laut Indonesia dengan kapal induk. Masing-masing dapat mendukung lima helikopter dan harus dapat mengakomodasi V-22.

TNI Angkatan Laut Indonesia mengoperasikan sekitar dua lusin helikopter ringan. TNI Angkatan Udara memiliki sekitar 20 helikopter angkut Puma dan Super Puma. TNI Angkatan Darat dengan 50 Bell 412s dan 10 Mi-17, memiliki kekuatan putar terbesar.

Tidak satu pun dari helikopter itu yang dapat menandingi kecepatan jelajah 300 mil per jam V-22 dan radius misi 400 mil dengan muatan penuh dua lusin pasukan. Kemampuan itu datang, tentu saja dengan biaya. Tidak hanya V-22 yang mahal dengan USD70 juta per copy, itu tidak dapat diandalkan dan perawatannya intensif dibandingkan dengan helikopter tradisional.

Tapi itu mungkin layak karena Indonesia membangun armada laut yang dapat berfungsi sebagai pangkalan untuk mendorong kembali serangan China ke perairan Indonesia, khusus Natuna. (*andy surya)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here