Diskusi Lingkar Merdeka SMSI, Dr Reda: Kenali Bahaya Bermedsos

0
476
SUASANA diskusi (foto istimewa)

JAKARTA, KABARTERKINI.co.id —Berhati-hati dalam bermedia sosial (medsos). Karena banyak ranjau yang bisa menjebloskan pengguna ke penjara. Jadi harus mengenali betul jenis-jenis pelanggaran undang-undang dan ancaman hukumannya.

Sebab masyarakat sudah dianggap mengetahui, semua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meskipun begitu, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) diminta terus mensosialisasikan undang-undang ini.

Demikian benang merah pernyataan dua pembicara dihadirkan dalam diskusi Lingkar Merdeka SMSI yang digelar secara hybrid, online dan offline. Diskusi dipusatkan di Kantor SMSI Pusat, Jalan Veteran II, Jakarta, Rabu 8 Juni kemarin.

Dua pembicara diskusi, yakni Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Dr Reda Manthovani dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Prof Dr Moestopo, Dr Taufiqurokhman.

Hadir memberi sambutan pembukaan diskusi Ketua Umum SMSI Firdaus. Tampak hadir Ervik Ari Susanto, penasihat SMSI, dan sejumlah pengurus pusat dan provinsi. Hadir juga Ketua Umum Forum Pemred Siber Indonesia Bernadus Wilson Lumi.

“Kepada para anggota SMSI harus menguasai Undang-Undang ITE. Untuk membekali diri sendiri dan keluarga agar tidak terjerat hukum ketika bermedsos,” pesan Firdaus, tampak didampingi Sekjen SMSI Mohammad Nasir.

Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Dr Reda Manthovani memaparkan, dari riset Data Reportal menunjukkan jumlah pengguna medsos mainstream, seperti YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Tik Tok, Facebook Messenger dan Twitter di Indonesia jumlahnya mencapai 191,4 juta pada Januari 2022.

Meskipun demikian, medsos ini dapat diibaratkan seperti “pedang bermata dua”. Selain mendatangkan banyak manfaat, tetapi jika digunakan secara tidak bertanggungjawab akan berujung ke persoalan hukum.

“Fakta menunjukkan trend kriminal saat ini bukan hanya korupsi, terorisme atau narkotika. Namun kasus-kasus yang turut mewarnai adalah berhubungan dengan teknologi internet dan medsos,” kata Reda.

“Termasuk kasus pencemaran nama baik lewat medsos. Disamping pencemaran nama baik, termasuk pula perdagangan gelap, penipuan, pemalsuan, pornografi, SARA dan berita bohong,” katanya lagi.

Penggunaan medsos, menurut Reda, telah cukup banyak yang berujung pada permasalahan hukum. Misalnya, Adam Deni dan Ni Made dituntut 8 tahun penjara. Karena melanggar Pasal 48 ayat (3) Jo Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian Buni Yani divonis 1,5 tahun penjara. Karena melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Lalu I Gede Ari Astina alias Jerinx (JRX) divonis 1,2 tahun penjara. Karena melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Ahmad Dhani divonis 1,6 tahun penjara. Karena melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang ITE.

“Padahal aktivitas di ruang virtual telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016,” kata Reda.

Ketua LPPM Universitas Prof Dr Moestopo, Dr Taufiqurokhman mengutip Data Puskakom UI dan Kominfo bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai 88,1 Juta (34,9% dari total jumlah penduduk di Indonesia).

Akses internet masyarakat Indonesia = 1 – 3 jam per hari (telepon & celluler 85 persen, Laptop/Notebook 32 persen, PC/Komputer 14 persen dan Tablet 13 persen). Mayoritas pengguna, wanita 55 persen dan pria 45 persen.

Menurut laporan diterbitkan PewCenter.org, sebagian besar anak telah menjadi korban penindasan dunia maya di masa lalu. Otomatis berpengaruh kepada perkembangannya serta menimbulkan ketidaknyamanan. Biasanya pelaku penindasan, menggunakan akun palsu.

Melalui medsos, pelaku meretas data pribadi orang lain dan disebarluaskan di internet. Hal ini bisa dijadikan sebagai pencurian identitas yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain.

“Medsos bisa menyebabkan kecanduan kepada seseorang. Terkadang membuatnya melupakan dunia nyata. Oleh karena itu, seseorang kecanduan medsos sangat mengganggu kehidupan pribadinya,” ungkap Taufiqurokhman.

Dampak negatif lain, paparnya, adalah malas berkomunikasi di dunia nyata, mengabaikan keterampilan menulis, mengeja dan lain-lain. Membanggakan diri sendiri secara berlebihan atas apa yang dimilikinya (narsis). “Sehingga terjadi garis pemisah antara kelas sosial atas dan kelas sosial menengah bawah,” pungkas Taufiqurokhman. (*andi surya)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini