Catatan Andi Surya
PERLAHAN tapi pasti, politikus muda menguasai parlemen di Indonesia, tak terkecuali di Natuna. Fenomena tak bisa terhindarkan. Politikus tua harus berlapang dada, meski pun ada yang lolos, tapi perolehan suara mereka tak signifikan. Tergerus dengan suara politikus muda. Sehingga di parlemen, kaum muda memegang pucuk pimpinan.
Ketika kaum muda memegang pucuk pimpinan, apakah mereka sanggup membawa perahu parlemen lima tahun kedepan? Sebagian masyarakat pesimis, sebagian lagi optimis.
Alasan masyarakat pesimis, politikus muda belum punya pengalaman. Mungkin alasan lain, kebijakan-kebijakan diambil kelak, tak akan menguntungkan masyarakat dan daerah.
Sebuah alasan tak masuk diakal. Sebab tua atau muda politikus duduk di parlemen, tetap melakukan pekerjaan sesuai tugas, pokok dan fungsinya, yaitu: melegislasi peraturan daerah, pengesahan APBD, menampung aspirasi masyarakat, mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan lain.
Jadi, selama mempunyai tugas seperti itu, apakah politikus muda tak mampu melakukan? Penulis merasa, terlalu diskriminasi cara berpikir masyarakat pesimis dengan kemampuan politikus muda. Karena para politikus muda itu, pendidikannya bukan “kaleng-kaleng.”
Rata-rata Strata-1, diperoleh sebelum menjabat. Beda dengan politikus tua, kebanyakan ketika menjabat baru “bermunculan” titel sarjananya. Tak tanggung-tanggung gelar diperoleh Strata-2 hingga Strata-3.
Yang menjadi pertanyaan, apakah gelar itu murni melalui jenjang pendidikan? Lalu, selama ini, ketika politikus tua menguasai parlemen, apakah kondisi suatu daerah itu, maju?
Bagaimana dengan kebijakan aspirasi hibah atau bansos, sempat fenomenal di kabupaten perbatasan ini delapan tahun silam. Kebijakan ini sempat fenomenal, karena terjadi pembagian dengan istilah, “belah semangka.”
Pembagian terbilang unik. Pemilik aspirasi hibah atau bansos mempersiapkan konstituennya membuat proposal bantuan ke pemerintah daerah. Proposal bantuan, bisa tentang olahraga, ternak, perkebunan dan sebagainya.
Setelah konstituen cair bantuannya, dana itu dibagi dua dengan pemilik aspirasi. Paling lucu, dan selalu di ingat sepanjang sejarah kabupaten perbatasan ini, proposal bantuan ternak ayam.
Saking banyaknya proposal itu diajukan, sempat sebagian masyarakat tak setuju kebijakan tersebut berkelakar, “Seandai ternak ayam benar sukses, kabupaten perbatasan ini tak akan bisa dilalui manusia.”
Sebab semua tempat, hingga jalan besar, akan penuh dengan ayam. Mungkin masyarakat tak setuju kebijakan aspirasi hibah atau bansos, pendukung politikus muda duduk parlemen. Mereka ingin perubahan, meski secara perlahan.
Masyarakat optimis ahkulyakin, politikus muda di parlemen akan mampu melakukan perubahan demi kabupaten perbatasan ini kedepan. Pergerakan perubahan mulai terlihat, saat politikus muda banyak terpilih dan duduk di parlemen kabupaten perbatasan ini.****